SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Bahagia Itu Soal Kemampuan, bukan Perasaan

Salah satu tragedi kehidupan yang paling ironis adalah kalau kita diberi banyak oleh Tuhan namun tidak memiliki kapasitas untuk menikmati pemberian tersebut. Bahagia itu bukan masalah emosi atau perasaan, tapi soal kemampuan. Yang penting bukan merasa bahagia, tapi mampu bahagia.

Dengan gayanya yang khas dan selalu menohok, Qoheleth menulis,

“Orang yang dikaruniai Allah kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sehingga ia tak kekurangan suatupun yang diingininya, tetapi orang itu tidak dikaruniai kuasa oleh Allah untuk menikmatinya, melainkan orang lain yang menikmatinya! Inilah kesia-siaan dan penderitaan yang pahit” (Pengkotbah 6:2).

Harta kekayaan boleh berlimpah, tapi kalau hidup diliputi ketakutan nilai sahamnya anjlok karena krisis finansial global, mana mungkin dapat menikmati kekayaannya? Reputasi dan posisi mungkin hebat, namun kalau susah tidur di malam hari karena kuatir kalau rahasia hidupnya terbongkar, mana mungkin bisa bahagia? Belum lagi orang yang bekerja keras banting tulang siang-malam untuk sukses, dan setelah sukses hidup super hemat karena kikir dan serakah – tidak pernah menikmati jerih lelahnya.

Kapasitas untuk menikmati itu datang dari Tuhan. Demikian pula kapasitas untuk memperoleh kenikmatan. Namun orang Kristen sering berdoa kepada Tuhan hanya untuk memperoleh kenikmatan, bukan untuk menikmati kenikmatan tersebut.

Mengapa kapasitas untuk menikmati itu tidak kita miliki secara natural? Karena dalam dunia yang penuh semak duri dan rumput duri akibat dosa kita (Kejadian 3:17-19) menggerogoti kapasitas kita untuk menikmati bahagia.

Waktu muda, kita punya waktu dan tenaga, tapi tidak punya uang.
Waktu berumur, kita punya uang dan tenaga, tetapi tidak punya waktu.
Waktu tua, kita akhirnya punya waktu dan uang, tetapi tidak lagi punya tenaga.

Orang yang berbahagia menurut Qoheleth adalah mereka “yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya” (Pengkotbah 5:19).

Apakah Anda orang yang bahagia?