SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Tujuh Alasan Mengapa Berpolitik adalah Sebuah Panggilan Kristiani

buletin_7april-smlBahwa politik itu sekuler, kotor, atau memecahbelah membuat banyak orang Kristen alergi terhadap politik. Apalagi kalau ada trauma terhadap imbas politik Indonesia yang terjadi di masa lalu. Namun perspektif kita tentang keterlibatan politik harus dibentuk dan diarahkan oleh firman Allah, bukan oleh stigma masa
lalu, pengkondisian lingkungan, atau pilihan pribadi.

Tidak semua orang Kristen dipanggil untuk berpolitik praktis (misal, ikut menjadi caleg) tapi setiap kita terpanggil untuk memiliki kepedulian politik dan
berpartisipasi aktif, non-praktis. Berkiprah di dalam atau di luar sistem politik adalah sebuah pilihan respon kita, sesuai dengan porsi dan visi yang Allah berikan bagi kita masing-masing.

Kita akan melihat 7 hal yang Alkitab ajarkan mengapa partisipasi aktif dalam politik non-praktis adalah sebuah panggilan yang mulia.

  1. Sebuah panggilan mengasihi sesama secara kolektif (Matius 22:39).
    Kata “politik” berasal dari kata polis yang berarti ‘kota’. Seorang yang berpolitik
    artinya memakai kapasitas yang ia miliki untuk mengambil keputusan atau
    tindakan yang menyangkut hidup orang banyak. Bila Yesus memanggil kita untuk
    mengasihi orang lain seperti diri kita sendiri, itu berarti kita perlu turut
    mengupayakan kesejahteraan dan kebaikan bagi sesama kita dalam konteks
    publik. Ini kita tunjukkan, misalnya, dengan kita berdoa syafaat bagi pemerintah,
    membayar pajak dengan jujur, mendukung hukum yang melindungi kebebasan
    beragama atau hak bayi yang belum lahir, dan menolak korupsi, kolusi, dan
    nepotisme.
  1. Sebuah panggilan untuk mendukung pemerintah (Markus 12:13-17; Roma 13:1-7; 1 Pet 2:13).
    Saat Yesus berkata, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan
    kepada Kaisar” (Markus 12:17), Ia memberi afirmasi bahwa sebuah pemerintah
    yang tidak mengakui Allah Yehova pun adalah pemerintah yang sah. Dengan
    membayar pajak, kita mendukung pemerintah tersebut. Jadi sebuah pemerintah
    eksis secara sah bukan karena pemilihan umum, tetapi karena Allah memberi
    otoritas kepada pemerintah tersebut mengatur hidup manusia di sebuah batas
    wilayah kekuasaan tertentu agar dosa tidak semakin merajalela.
  1. Sebuah panggilan untuk bekerja sama dengan setiap orang baik untuk mendatangkan kesejahteraan, kebenaran, dan keadilan (Yer 29:11; Amos 5:21-24).
    Yesus mengajarkan murid-muridNya untuk membayar pajak kepada pemerintah
    Roma di zaman-Nya yang notabene korup dan opresif. Yesus sadar bahwa pajak
    yang dibayarkan kepada pemerintah Roma itu jugalah yang akan dipakai untuk
    membayar gaji para tentara yang akan menggantung Yesus ke atas kayu salib!

    Implikasinya jelas, Yesus tidak mengajarkan murid-muridNya untuk mendirikan
    negara Kristen atau pemerintah Kristen. Karena pemerintah adalah bagian dari
    anugerah umum Allah, kita perlu berusaha keras agar orang-orang yang duduk di
    dalamnya adalah orang-orang yang cinta damai, kebenaran, dan keadilan. Dan
    dibawah pemerintah tersebut kita perlu bekerja sama dengan setiap orang baik
    yang berjuang untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
  1. Sebuah panggilan untuk menjaga akuntabilitas pemerintah (Kisah 5:29).
    Ketaatan kita terhadap pemerintah tidak bersifat mutlak. Yesus adalah pengagas
    pertama teori kedaulatan pemerintah yang terbatas ketika Ia lalu berkata, “dan
    [berikanlah] kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Markus
    12:17). Karena gambar kaisar Roma yang terukir pada uang dinarius Romawi, kita perlu memberi apa yang kaisar tersebut layak miliki, yaitu uangnya. Dan karena gambar Allah yang terukir pada diri setiap manusia ciptaan Allah, kita perlu memberi Allah apa yang Ia layak miliki, yaitu seluruh hidup kita! Artinya, Anda dan saya perlu memberi uang pajak kita kepada pemerintah, tapi jangan pernah memberi kesetiaan absolut kita kepadanya. Itu adalah milik Allah.

    Saat pemerintah tersebut bertindak melawan otoritas dan kehendak Allah, maka
    kita harus memilih untuk lebih taat kepada Allah daripada manusia (Kisah 5:29).
    Kita perlu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati untuk dapat melawan
    kebijakan pemerintah, misal ketika anak-anak sekolah dilarang berdoa di sekolah
    publik, tetapi dianjurkan mencoba alat kontrasepsi yang dibagikan di sekolah dan
    mengenakan pakaian yang biasanya dipakai gender lain (cross-dressing).

    Ketika orang Kristen di zaman gereja mula-mula menyatakan “Yesus adalah
    Tuhan”, itu adalah sebuah pernyatan politik subversif yang melawan motto
    populer Roma yang berbunyi “Kaisar adalah Tuhan”. Dengan menolak untuk
    menyembah rejim yang berkuasa sebagai Tuhan, mereka menyatakan bahwa
    hanya Yesus yang layak disembah, meski hal tersebut dianggap sebuah tindakan
    makar.
  1. Sebuah panggilan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi Injil Kristus.
    Rasul Paulus mendorong jemaat untuk berdoa bagi pemerintah agar kita “dapat
    hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan” (1 Tim 2:2). Meski pemerintah memiliki otoritas turunan dari Allah secara terbatas, ia memiliki pengaruh terhadap kemajuan kerajaan Allah di dunia ini. Korea Utara dan Korea Selatan adalah contoh kontras yang sangat tajam. Di negara yang satu warga negaranya lahir, hidup, dan mati tanpa mendengar Injil Kristus, di negara yang lain begitu banyak misionari yang diutus ke seluruh dunia untuk mengabarkan Injil.
  1. Sebuah panggilan untuk terlibat tanpa jatuh ke dalam dua ekstrim.
    Ekstrim pertama adalah menerima status quo dan tidak peduli dengan hidup
    berbangsa dan bernegara. Ekstrim kedua menjadikan politik sebagai strategi
    utama mengupayakan kedamaian sejati bagi masyarakat. Yesus tidak terjebak
    dengan sikap apolitik maupun ultra-politik tersebut. Sayang pengikutNya tidak
    demikian. Sejarah mencatat kelanggengan Nazi di Jerman dan apartheid di Afrika
    Selatan adalah kegagalan gereja untuk keluar dari kedua jebakan tersebut.

    Di satu sisi, Yesus tidak pesimis melihat kemiskinan, ketidakadilan, penderitaan,
    Ia melakukan banyak tindakan politik - bersuara melawan pemimpin yang korup
    dan membela orang-orang yang dimarjinalkan oleh sistem. Namun sisi lain, Ia
    tidak pernah berambisi menggantikan atau mengkudeta kaisar Roma untuk
    kemudian menjadi kaisar yang berkuasa.
  1. Sebuah panggilan untuk turut menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di dunia ini dengan kasih yang berkorban.

    Berbeda dengan para revolusioner lain di zamannya (misal, Yudas dari Galilea di
    abad ke-6 yang ditumpas oleh Roma), Yesus tidak pernah berkampanye politik,
    dan tidak punya program politik.

    Namun dalam artian luas, Ia sangat berpolitik. Agenda Yesus no. 1 dalam
    pelayanan-Nya di dunia adalah menghadirkan Injil kerajaan Allah. Dan kuasa Injil
    itulah yang akan mencabut secara tuntas sampai ke akar semua masalah manusia. Dalam kerajaan-Nya, tidak akan ada lagi kejahatan, ketidakadilan, kemiskinan, penderitaan, dst. (Lukas 4:18-19).

    Ia datang bukan untuk menjadi raja baru yang lebih hebat, tetapi Ia akan
    memperbarui, mereformasi, merevolusi dunia dengan sebuah kerajaan yang
    samasekali baru. Klimaks dari ‘karir politik’ Yesus di dunia bukan menang dalam
    merebut kuasa melalui election, tapi menang menyerahkan kuasa melalui
    execution.

    Ia dihukum menanggung dosa Anda dan saya di atas salib agar kitadibebaskan dari ambisi untuk memiliki kuasa dan pengaruh di dunia yangsementara ini, sehingga kita mampu berkiprah di dunia ini dengan kasih yangberkorban demi kerajaan surgawi yang akan datang. Injil itulah yang akanmengubah secara radikal keterlibatan kita dalam politik.

Karena politik itu soal hidup berbangsa dan bernegara, orang Kristen sebagai
warna negara di dunia ini sebenarnya tidak pernah bisa lepas dari kehidupan
berpolitik. Ketika Anda memilih untuk boycott sebuah barang yang diproduksi
oleh perusahaan yang mencemari lingkungan atau mempekerjakan pekerja anak,
laluprotes kepada pemerintah untuk dapat menindaknya, itu adalah sebuah
tindakan politik. Demikian juga saat kita memilih untuk tidak peduli, itupun
adalah sebuah tindakan politik.

Jadi memasuki Pemilu April 2019 ini, Anda bisa memilih untuk ikut nyoblos atau
golput atau pergi ke luar kota persis di hari itu. Namun apapun pilihan tersebut,
Anda sebenarnya sedang berpolitik.

Kiranya Tuhan Yesus memberi kita hikmat untuk dapat mengambil pilihan yang
benar, dan memilih dengan bijak dan bertanggung jawab.

*Penulis adalah Professor of Leadership di Swinburne Business School dan Preaching Pastor di Indonesian Christian Church, Melbourne (icc-melbourne.org).

*Ilustrasi oleh Kezia Wijaya

Leave a Comment

Comments for this post have been disabled.