SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Tiga Alasan untuk Berdoa bagi Pemimpin Kita di Pemerintahan

parliament

Kebebasan untuk menjadi seorang murid Kristus di Indonesia atau di Australia, mungkin akan mengecil, sedikit demi sedikit. Mungkin kita akan sampai di satu era dimana pemerintahan akan menyatakan dan melakukan kepada kita apa yang kita tahu itu salah. Contoh praktis: Di Australia, kita sebentar lagi akan mendekati pemilu untuk perdana menteri – dan keputusan mereka tentunya akan mempengaruhi hidup kita juga.

Apa yang harus kita lakukan?

 

Firman Allah bagi Kita

Melalui rasul-Nya, Allah menyatakan ini kepada kita (1 Timotius 2:1-2)

Pertama-tama aku menasihatkan dengan sangat: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan.

Kita harus berdoa bagi pemimpin yang mengatasi kita dalam pemerintahan. Panggilan ini jelas sejelas-jelasnya dalam bagian Firman ini. Tapi, mungkin, kita ngga terlalu yakin dengan panggilan ini. Kita bisa ganti “raja” dengan “perdana menteri” atau “presiden”. Kalau kamu itu seperti aku, kita sepertinya ngga terlalu sreg dengan panggilan ini. Di dalam persekutuan kita dengan Tuhan, kita mungkin tidak menganggap hal ini seserius permintaan kita yang lain, seperti berdoa bagi jiwa orang-orang yang kita sayangi.

Ini bukan saya, tetapi Firman: kita harus melakukan ini. Pertanyaan yang aku tanyakan – dan saudara juga tanyakan, pastinya: Kenapa? Ada tiga alasan untuk berdoa terus-menerus bagi pemimpin kita, di mana pun kita berada.

 

1. Berdoa bagi pemimpin kita itu tugas peperangan yang ilahi dalam mengikut Yesus.

Ayat ke-1 menggarisbawahi perintah ini dengan demikian: pertama-tama. Di ayat-ayat sebelumnya, Paulus sudah memberi tugas ilahi kepada Timotius: Perjuangkan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni.

Kita yang hidup di dunia harus mengalami peperangan yang tidak terlihat, yang memerangi jiwa manusia. Kita berhadapan dengan lawan-lawan spiritual yang mau menuduh setiap manusia yang berdosa untuk dijebloskan ke neraka bersama mereka. Di dalam perjuangan ini, Paulus mau mengingatkan kita: doa adalah walkie-talkie perang yang diberi oleh Allah kepada anak-anak-Nya – dari bumi ke Surga.

Tapi, setiap perjuangan itu selalu dimulai di satu titik mula. Pertanyaan lagi: Dimulai dari mana? Paulus seakan berkata: Mulai dari sini, Timotius – dan kalian semua yang membaca surat ini – tugas ilahi kalian dalam mengikut Yesus adalah berjuang dengan baik untuk terus selaras dengan Injil, dan itu dimulai dari berdoa untuk semua macam orang, terkhususnya pemimpinmu.

 

2. Berdoa bagi pemimpin kita itu bertujuan untuk kebaikan kita juga.

Paulus sering memberi tujuan dari setiap perintah – dan di sini pun dia tidak lupa. Apa tujuannya berdoa bagi pemimpin kita? Paulus menjawab kita: Agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala bagian hidup kita yang mengikut Kristus.

Bagi siapa pun yang membaca berita-berita mengenai Siria dan Mesir, kita harus mengingat bahwa keadilan adalah peran dari setiap pemerintah – entah mereka yang percaya atau tidak percaya kepada Allah yang Esa (Roma 13). Yang harusnya dihukum di dunia ini adalah ketidakadilan – bukan mereka yang mengikut Kristus. Tetapi kita tahu bahwa di dalam daulat Tuhan, di seluruh sejarah manusia, selalu ada pemimpin yang jijik dengan umat Allah dan mereka yang mengakui Yesus sebagai Kristus (“Raja di atas segala raja”), dan karena itu menindas mereka – dari Firaun sampai Herodes sampai Stalin.

Karena itu, kita berdoa kepada Allah yang berdaulat atas pemimpin-pemimpin dunia: agar mereka menjunjung keadilan dan mengejar kedamaian – supaya kita dapat bersaksi kepada kasih karunia Allah yang berlimpah di mana pun kita berada. Intinya: kita meminta Allah untuk menaruh dalam pemimpin kita keinginan untuk menjunjung tinggi kebebasan beriman dalam negara tersebut.

 

3. Berdoa bagi pemimpin kita itu indah di mata Allah, sesuai dengan isi hati-Nya, dan demi Injil Kristus.

Tapi, kelihatannya ini adalah tugas yang sulit. Dan Paulus sepertinya tahu itu, karena dia sendiri akan dipenjara oleh pemerintahan yang akan memancung dia beberapa tahun setelah dia menulis surat ini.

Tiga dasar doa dari 1 TImotius 2:4-5:

Pertama. Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita;

Kedua. Allah sendiri yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran;

Ketiga. Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.

Paulus jelas mengikuti perintah yang dia beri kepada Timotius. Dan, kita tahu Timotius sendiri akan dipenjara (Ibrani 13:23) – lagi, oleh pemerintah yang ia sendiri doakan. Dia tahu bahwa kekuatan yang terus menopang dia untuk terus berdoa bagi mereka yang menyakiti dia datang bukan dari dirinya sendiri.

Itu datang dari Allah, Juruselamat kita. Sehingga kita dapat berkata: “Allah, Engkau-lah yang menjadi Sumber dan Pemberi Keselamatan. Bukan kita yang menyelamatkan – karena itu kami meminta kepada-Mu.”

Itu datang dari kehendak-Nya sendiri, yang mengingini semua orang diselamatkan dan memperoleh Injil-Nya. Sehingga kita dapat berdoa: “Allah, kehendak-Mu lebih pasti daripada kehendakku. Keinginanmu lebih dalam & luas daripada keinginanku. Dan kehendak dan keinginan-Mu adalah supaya banyak orang dari seluruh bangsa Engkau selamatkan – dan Engkau hendak memakai permintaan kami supaya ini terjadi. Lakukanlah, ya Allah!”

Itu datang dari Dia yang telah menjadi Pengantara antara Allah dan manusia, Yesus Kristus. Sehingga kita dapat merasa yakin dan percaya dalam permintaan kita: “Yesus, Engkau-lah Pengantara yang sempurna, antara manusia dengan Allah. Engkau mengerti kekudusan Allah sepenuhnya, dan Engkau mengenali diriku & seluruh manusia sepenuhnya di dalam pengalaman-Mu sebagai manusia. Engkau-lah kepastian doa kami, Engkau-lah yang membawa Allah sangat dekat & intim kepada kami. Dengarlah doa-doa dari jiwa kami, ya Tuhan!”

 

Diadaptasi dari DesiringGod.org, Jonathan Parnell