SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Teologia Keinginan

Anda mungkin pernah mendengar kalimat ini, “orang Kristen jarang sekali diajar teologia penderitaan”. Tapi yang mungkin lebih jarang dibahas adalah “teologia keinginan” atau “teologia kenikmatan”. Karena kita berpikir bahwa itu pengalaman keseharian yang kita alami sehingga tidak perlu dibahas. Salah kaprah inilah yang membuat banyak orang Kristen dijebak oleh keinginannya sendiri. Berikut beberapa hal yang kita dapat pelajari.

  1. Keinginan adalah akar dari masalah pribadi dan antar-pribadi kita (Yak 4:1-3). Misal, keinginan untuk menikmati kekayaan membuat orang akhirnya berani berbohong, mencuri, dan seterusnya. Keinginan untuk berkuasa membuat orang mengkhianati temannya, melakukan kompromi-kompromi yang berdosa, dst. Itu sebab kita perlu mengenali mana dari 4 keinginan dasar manusia yang seringkali menjadi motivasi utama kita: kuasa (power), penerimaan (approval), kenyamanan (comfort), dan kontrol (control).
  1. Masalah utama kita ada di dalam, bukan di luar, diri kita. Karena keinginan tersebut yang menjadi masalah utama kita, konyol kalau kemudian menyalahkan lingkungan atau orang lain. “Ini karena salah orang tua saya yang keliru membesarkan saya”, “Ini karena boss saya yang memang tidak manusiawi”, “Ini semua gara-gara peraturan pemerintah yang tidak becus.” Tidak, masalahnya adalah diri kita sendiri. Itu sebab self-help tidak akan menolong karena self adalah sumber masalah tersebut. Solusinya harus berasal dari luar diri kita.
  1. Keinginan kita jahat bukan karena jenisnya tapi karena kadarnya. Alkitab tidak pernah melarang kita memiliki keinginan, karena segala hal yang baik dalam dunia ini diberikan Allah untuk kita nikmati melalui kelima panca indera kita. Keinginan untuk memiliki kebebasan finansial, kerukunan rumah tangga, anak-anak yang taat, sukses dalam bisnis, posisi yang tinggi di perusahaan, dsb. Semua itu natural, sah, dan baik. Namun itu menjadi berdosa bila keinginan tersebut menjadi keinginan yang memerintah, menguasai, mengontrol kita. Dengan kata lain, kita menurunkan Kristus sebagai Tuhan, lalu men-tuhan-kan keinginan kita. Itu sebab kita marah dan bertengkar dengan apa atau siapapun yang kita anggap akan menghalangi kita memenuhi keinginan tersebut
  1. Keinginan kita dipengaruhi oleh kedagingan, dunia, dan Iblis. Yakobus 4 juga memberitahu kita bahwa ada trinitas tidak kudus (unholy trinity) yang beraliansi mempengaruhi kita. Ketiganya, faktor personal (kedagingan kita), cultural (dunia), dan spiritual (Iblis) – bermain menjadikan keinginan kita menjadi tuhan kita. Jadi kalau ada seorang yang berdosa, itu bukan melulu masalah natur kepribadiannya (“memang dia dari lahir sudah begitu”), atau keputusan pribadinya (“memang dia orang yang tidak bertanggung jawab”), atau masalah lingkungan (“memang dia salah asuhan”). Kita perlu melihat ini secara holistik sebagaimana Alkitab.
  1. Allah mengubah kita dengan mengubah orientasi keinginan kita. Bukan dengan cara moralistik, misal disiplin diri. “Jangan menginginkan ini dan itu, demi dapat menikmati kenginan yang lebih besar” – pendekatan ini hanya memperhamba kita pada keinginan hati yang lebih signifikan. Juga bukan dengan pendekatan Buddha yang menyingkirkan keinginan sama sekali karena menurut ajaran tersebut, keinginan adalah sumber derita. Alkitab mengajarkan Allah melakukan transplantasi hati sehingga kita memiliki keinginan yang diubahkan. Keinginan kita terhadap Kristus menjadi sebuah hasrat yang besar, sehingga keinginan akan hal-hal lain menjadi tidak mutlak dan tidak harus. Kristus menjadi cukup bagiku.

Tidak mendapat posisi yang penting? Tidak apa-apa, karena dalam Kristus aku memiliki posisi penting, orang berdosa yang diampuni Allah dalam Kristus dan sekarang menjadi duta Allah bagi dunia. Tidak merasa aman dan nyaman? Tidak apa-apa, karena Kristus adalah keamanan dan kenyamanan sejati. Tidak dipuji dan diterima? Tidak apa-apa, karena Kristus telah menerima dan menganggapku berharga ketika Ia mati di kayu salib bagiku. 

Mazmur 37:4 berkata, “Delight yourself in the Lord and he will give you the desires of your heart” Artinya bukan Tuhan akan memberi apapun yg saya inginkan. Tetapi saat kita sungguh telah dapat menikmati Tuhan, maka segala keinginan hati kita juga pasti telah diubahkan. Saat kita dapat bersukacita di dalam Tuhan sendiri, segala keinginan hati kita pasti tertata sebagaimana seharusnya.