SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Mengikis Rasa Malu

Malu adalah sebuah emosi moral negatif dan menyakitkan karena kita merasa kita memiliki sebuah cacat (flaw), sehingga tidak layak untuk diterima dan dikasihi. 

Tentu memang, malu bisa bersifat positif karena toh emosi tersebut juga diciptakan oleh Tuhan Allah. Semua orang pasti punya rasa malu (kecuali sociopath!). Bayangkan orang yang tidak tahu malu (atau tidak sadar bahwa dia seharusnya malu): Ngomong keras sekali di mobile phone saat di public transport; makan paling duluan, cepat, dan banyak di acara persekutuan gereja, dan seterusnya. 

Namun seringkali malu itu negatif. Malu membuat kita menarik dan menyembunyikan diri, karena takut orang akan mengetahui siapa sebenarnya diri kita. Mungkin kita malu memberitahu orang masalah hidup kita, kelemahan kita, ketakutan kita, kebiasaan sehari-hari kita, masa lalu kita, agama kita, umur kita, keluarga kita, dst. “Jangan-jangan kalau nanti orang tahu kebiasaan keseharian saya, orang pikir saya aneh, malas, kuper, ga rohani.”

Semakin kita memiliki kesadaran yang tinggi (self-conscious), semakin kita rentan terhadap emosi malu tersebut. Banyak orang yang malu karena merasa kurang tinggi/kurus/cantik/maskulin/pandai/kaya/sukses/bertalenta/tahan banting/kreatif.

Namun yang dunia tidak ketahui adalah bahwa akar dari emosi malu, karena jawabannya ada di Kejadian 3 ketika manusia jatuh dalam dosa. Di pasal sebelumnya, ditulis bahwa manusia diciptakan dalam kondisi ‘telanjang dan tidak malu’ (Kej 2:25). Setelah jatuh dalam dosa, mereka menjadi ‘telanjang dan malu’. 

Apa yang Alkitab nyatakan tersebut menggiring kita pada prinsip berikut: Rasa malu kita yang horizontal mengacu kepada rasa malu kita yang vertikal dan lebih dalam. Rasa malu kita seringkali hanya takut ‘kehilangan muka’, apabila kita tidak lagi punya rasa malu terhadap Allah.

Kita tidak mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan kita. Tapi kita tidak malu akan hal itu. Kita tidak mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri. Tapi kita tidak malu akan hal itu.

Itu sebab solusi terhadap emosi malu yang negatif itu adalah kembali kepada Injil Allah. Hanya di dalam Allah kita dapat dikenal sepenuhnya, dan tetap dicintai sepenuhnya. Kalau kita dicintai, namun tidak kenal, maka itu cinta yang semu. Kalau kita dikenal, tapi tidak dicintai, maka kita akan takut membuka diri. Tapi Allah mencintai kita meski tahu setiap dosa dan kebobrokan kita, sehingga kita dibebaskan dari pretensi diri, kesombongan hati, dan ketakutan menghadap ketidaktentuan hidup. 

Bagaimana mungkin Allah tetap mengasihi kita meski kita terus memiliki cacat dosa? Karena Anak-Nya yang tunggal itu, Yesus Kristus, pernah ditelanjangi sebagai tontonan publik saat dia dihakimi manusia berdosa di atas salib. Allah membiarkan semua itu terjadi demi Anda dan saya. Karena dosa kita, Yesus dipermalukan dengan amat sangat supaya kita tidak pernah perlu merasa dipermalukan. Dia ditelanjangi menanggung dosa kita agar kita dapat memiliki jubah kebenaran-Nya. Tadinya kita ‘telanjang dan malu’, sekarang didalam Kristus kita ‘berpakaian dan tidak malu’.

Jadi cara kita mengatasi rasa malu horizontal adalah dengan memiliki rasa malu yang mendalam karena dosa kita menyakiti hati Allah. Itu sebab rasul Paulus dapat berkata bahwa dia tidak malu terhadap Injil Allah (Roma 1:16) dan menasihati Timotitus untuk tidak malu bersaksi tentang Injil tersebut (2 Tim 1:8).