SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Menemukan Tuhan Saat Terjebak Macet

Jika Anda harus naik mobil untuk kerja atau ke kampus tiap hari, Anda pasti akrab dengan pengalaman merambat atau macet di jalan. Jika seorang di Melbourne atau Jakarta menghabiskan waktunya 4 jam per hari di jalan karena kepadatan atau kemacetan, maka ia memakai minimal 25 jam per minggu atau 1,200 jam per tahun (dengan asumsi 4 minggu per tahun ia tidak perlu keluar rumah). Setelah dipotong waktu tidur, itu berarti ia memakai sekitar 75 hari per tahun di jalan. Setiap 5 tahun, ia menghabiskan waktu 1 tahun di jalan raya, merambat atau terjebak dalam kemacetan! Ada dua hal yang kita bisa tarik dari sana:

Pertama, fenomena hidup diatas tak urung membuat banyak pengendara mobil yang frustrasi dengan kemacetan. Apalagi kalau ada pengendara lain yang menyelip dengan tiba-tiba, mengikuti mobil depan dgn sangat dekat (tailgate), meng-klakson tanpa henti, mengeluarkan sumpah serapah, bahkan tidak sedikit yang turun dan berkelahi di jalan, beberapa bahkan berakhir dengan kematian.

Kedua, apakah Tuhan peduli dengan Anda saat Anda duduk di mobil Anda dalam kefrustrasian? Tentu! Justru di saat-saat yang rutin, sepele, dan menjengkelkan seperti itulah, Ia pasti peduli dengan bagaimana anak-anakNya berespon saat ia terjebak macet.

Firman Tuhan memang tidak mengajarkan prinsip mengatasi kemacetan. Namun kerohanian yang sejati justru terlihat dalam rutinitas keseharian hidup seperti terjebak macet. Mari kita lihat skenario sederhana berikut.

Jam sudah menunjukkan pukul 9:35 pagi. Meeting Anda di kantor akan mulai tepat pukul 10. Namun sudah 15 menit mobil Anda tak bergerak satu meter pun di jalan tol. Anda mencoba melihat ke depan antrian mobil yang berkilo-kilometer jaraknya. Anda mulai gelisah, marah, kuatir, frustrasi, semua emosi tersebut bercampur aduk.

Gara-garanya meeting tersebut adalah meeting yang penting dengan 2 orang wakil dari perusahaan besar. Telah berbulan-bulan Anda mencoba untuk memenangkan bisnis mereka, dan hari ini Anda akan presentaasi di depan mereka dan bos Anda. Kebayang banget kalau Anda telat, bukan saja deal tersebut gagal, tapi janji promosi yang Anda sudah dambakan juga kemungkinan akan melayang.

Apa reaksi Anda dalam situasi tersebut? Anda sepertinya merasakan darah Anda mengalir lebih cepat. Dalam hati Anda mulai mengutuki polisi, "Mana para polisi sialan itu! Kalau dibutuhkan tidak ada batang hidung mereka!", "Dasar pemerintah ga becus, masalah macet dari 7 turunan kaga beres-beres!". 

Dibalik agresivitas, Anda sedang dilanda panik yang serius. Kalau Anda tidak dapat deal tersebut, promosi Anda batal, dan berarti rencana Anda untuk pindah ke rumah yang lebih besar sebelum anak kedua lahir akan berantakan. Pikiran Anda berkecamuk. Bagaimana kalau nanti malah dipecat? Kalau dipecat, dan tidak sanggup bayar cicilan rumah, apa jadinya dengan keluarga Anda! Muka mau ditaruh dimana kalau harus pinjem uang dari saudara! 

Semakin dalam Anda berpikir, semakin negatif. Dan semakin Anda gusar. Tiba-tiba Anda pencet beberapa kali klakson mobil Anda, meski Anda tahu tidak akan ada gunanya. Ketika pengendara depan Anda kaget dan marah di klakson, Anda balas menatapnya dengan tajam dan siap berkelahi!

Skenario diatas mungkin Anda pernah alami. 

Dimana Tuhan saat itu? Tuhan ada bersama Anda. Namun Anda tidak mempedulikan Dia. Anda mengecilkan Dia. Anda menggeser Dia dari tahta-Nya, dan menggantikan-Nya dengan ilah Anda, yaitu keinginan Anda yang sekarang menjadi tak terkontrol. "SAYA INGIN TIBA DI KANTOR SEBELUM JAM 10!" Anda meng-go-to-hell-kan semua orang yang Anda pikir berkontribusi menghalangi agenda maha penting tersebut (polisi, pemerintah, pengendara lain, dst.). 

Di momen-momen tsb, yang menjadi tuhan Anda bukanlah Tuhan Allah, tapi Mamon. Anda mungkin dapat menyanyi dengan gagah di gereja "Tuhan adalah Gembalaku", tapi saat Anda terjebak macet dan terancam tidak dapat promosi (meski itu masih probabilitas) realitanya, "Uang adalah Gembalaku." Anda diserang kekuatiran tentang masa depan Anda dan keluarga, tak berbeda dengan orang yang tidak mengenal Allah.

Justru di momen seperti itulah, Tuhan Allah ingin Ia menjadi Tuhan Allahmu, dan Ia menyatakan kasih karuniaNya yang lebih besar dari masalahmu di momen tersebut. Ia juga adalah Tuhan yang menilai bukan saja reaksi emosimu dalam kemacetan tersebut, tetapi yang lebih penting motivasi hati yang membuat Engkau marah dan cemas.

Kerohanian kita dibentuk bukan saat kita sedang beribadah, meski itu bisa terjadi, namun yang lebih signifikan dan penting adalah justru di saat-saat kita merasa marah, kuatir, menderita, takut, dst. Mari kita coba lihat skenario yang berbeda bila kita bersandar pada kasih karunia Tuhan yang Ia curahkan kepada kita.

Jam 9:35. Anda tahu Anda pasti akan telat. Tapi Anda berdoa dengan singkat begini. "Tuhan, karena telat mungkin aku tidak dapat project baru, tidak dipromosi, atau bahkan kehilangan pekerjaan. Namun yang menentukan masa depanku adalah Engkau, bukan bosku atau klienku. Kalau burung pipit yang kecil dan murah Engkau pelihara, tolong aku yang tidak percaya ini untuk percaya bahwa Engkau pasti memeliharaku. Aku tidak ingin hidupku dikontrol oleh karir dan harta yang selalu menuntut aku kerja mati-matian baginya. Hanya Engkau, ya Yesus, harta paling berharga yang mau dan telah mati bagiku!"

Saat kebenaran Injil tersebut mengingatkan Anda, saat kasih karunia Allah menguatkan Anda, Anda melewati kemacetan dengan jauh lebih sabar dan santun. Konsekuensinya? Seharian Anda tidak akan uring-uringan. Tidak akan ada kecelakaan yang Anda sebabkan hari itu. Sampai di kantor, Anda bisa tetap tenang dan sungguh-sungguh minta maaf kepada bos dan calon klien Anda, dan kemudian langsung siap melayani mereka. Mungkin Anda akan dapat project tersebut karena Anda dianggap jujur dan tetap tenang. Mungkin Anda tidak akan dapat project tersebut karena mereka kecewa, tetapi Anda tahu Tuhan dapat memberikan berkatNya melalui 1001 cara.

Namun satu hal yang Anda pasti dapatkan hari itu, bahwa Anda belajar kembali tentang betapa rentan diri Anda terhadap dosa, betapa Anda butuh kasih karunia Kristus, dan betapa Ia mengasihi, menopang, dan memampukan Anda! Siapa sangka pengalaman terjebak macet adalah bagian dari pemuridan!