SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Jatuh Satu, Mati Seribu

Kita sering mendengar istilah mati satu, tumbuh seribu, tetapi dalam konteks pelayanan gereja, yang sering terjadi adalah jatuh satu, mati seribu. Maksud saya, setiap kali ada pemimpin rohani yang jatuh dalam dosa menghiasi halaman surat kabar, ada seribu orang yang belum percaya semakin sinis terhadap Injil, apatis terhadap gereja, dan skeptis terhadap Kristus. Bahkan seringkali ada seribu orang lain lagi yang sudah percaya menjadi kecewa terhadap Tuhan, meninggalkan gereja, dan berkeputusan jadi ateis.

Kesaksian hidup seorang pemimpin rohani yang tidak dijaga akan berdampak fatal dan kekal.

“Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu”, demikian tulis Rasul Paulus kepada Timotius (1 Tim 4:16). Kalimat tersebut sekaligus menjadi ringkasan dari karakteristik pemimpin gereja yang benar (1 Tim 3:1-13; Titus 1:5-9) atau secara negatif, lawan kata dari karakteristik pemimpin gereja yang menyesatkan (Titus 1:10-16).

Mengawasi ajaran. Ini lebih jelas, dan lebih sering dibahas ketimbang mengawasi hidup. Apa yang diajarkan seorang hamba Kristus baik itu di mimbar, di kelas, di kelompok pemahaman Alkitab, dst punya dampak kekekalan. Ajaran salah berdampak fatal dan kekal. Banyak orang berjalan menuju neraka karena mimbar gereja diisi dengan berita bahwa keselamatan dalam Kristus hanya salah satu jalan keselamatan. Di sisi lain, banyak orang terhilang dalam kesalehan mereka karena mereka selalu mendengar ajaran bahwa cara mendapat keselamatan adalah dengan kerja keras mentaati Allah, dan bukan percaya pada karya Kristus yang telah genap diatas kayu salib. Kotbah-kotbah yang liberal dan moralis telah banyak memakan korban.

Mengawasi diri, mengawasi hati, jauh lebih abstrak artinya dan sulit aplikasinya. Setelah berkotbah dengan rutin dalam 12 tahun terakhir, saya semakin menyadari bahwa studi doktrin jauh lebih mudah dibanding studi hati. Lebih menyenangkan membaca komentari Alkitab untuk memahami sebuah kebenaran daripada melakukan instrospeksi yang mendalam terhadap motivasi hati. Lebih mudah memikirkan aplikasi teks kotbah untuk orang lain daripada menerapkannya pada diri sendiri.

Dari daftar kualifikasi yang Paulus tulis dalam 1 Timotius 3 dan Titus 1, kita tahu bahwa kualifikasi nomer satu dalam pelayanan pastoral adalah karakter rohani. Masalah hati. Bukan pengetahuan. Bukan kemampuan. Bukan bijaksana. Bukan reputasi. Bukan kekayaan. Bahkan bukan track record pelayanan di masa lalu. Tetapi kesadaran untuk menjaga hati dengan segala kewaspadaan, karena memang dari situlah terpancar kehidupan (Amsal 4:23).

Dalam pesannya kepada Timotius, Paulus menulis “bertekunlah dalam semuanya itu.” Kita bukan hanya harus mengawasi hati kita sendiri (bukan hati orang lain), tetapi kita harus mengawasinya dengan tekun. Ravi Zacharias dalam satu kotbahnya pernah menyatakan bahwa dalam pelayanannya, ia selalu menerapkan motto berikut bagi dirinya: “The minister of God who is called by God, appointed by God, anointed by God is assumed guilty until proven innocent.” Dengan kata lain, kita harus melakukannya terus-menerus (bukan hanya sebulan atau seminggu atau sehari sekali) dan sungguh-sungguh (bukan sembarangan). Karena peperangan dalam diri kita masih terus berlangsung dan tidak akan pernah berhenti sampai kita mati.

Jika kita mau jujur dihadapan Allah, kita akan sadar betapa sering di masa lampau kita gagal untuk mengawasi hati dan ajaran kita, untuk bertekun dalam semua itu. Dan kita juga tahu bahwa kita pasti akan gagal lagi di masa yang akan datang. Namun kita bersyukur bahwa keselamatan diri kita dan setiap orang yang kita layani tidak bergantung kepada sejauh mana kita bertekun menjaga ajaran dan hati kita melainkan bergantung kepada Kristus. Itu sebab mengapa kita perlu menjaga hati dan ajaran dengan mata rohani tertuju kepada Kristus.