SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Inilah Dia, Tulang dari Tulangku dan Daging dari Dagingku

Saat membaca ayat-ayat Alkitab seperti Titus 2:4-5, seringkali terjadi perselisihan di antara pembaca. Banyak orang-orang di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Eropa yang menilai kekristenan sebagai agama seksis karena menciptakan kesenjangan antar gender dan memandang rendah posisi wanita, khususnya di dalam status pernikahan. Namun, ayat-ayat seperti ini harus ditemani dengan Efesus 5:22-28, yang menjelaskan pengertian teologis yang lebih luas dan lebih kaya dari Paulus.

Di Efesus 5:22-28, pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita diparalelkan dengan hubungan Kristus dengan Gereja-Nya. Ada banyak makna teologis yang ada di dalam gambaran ini, yang dapat dirangkum seperti:

  1. Memang, Efesus 5:22-24 memerintahkan agar istri tunduk pada suaminya. Sedangkan Efesus 5:25-28 hanya memerintahkan agar suami mengasihi istrinya. Namun, apakah kata “hanya” disana tepat? Apa artinya saat suami mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi Gereja? Saat membaca ulang Alkitab, kita melihat bagaimana Israel yang dipilih sebagai “istri Allah” (Yes 54:6; Yes 62:4; Yer 31:3 dalam bahasa Inggris; Hos 2:19) namun melacurkan diri dengan berhala-berhala dan dosa-dosa mereka (Yer 3:8; Yehez 16:9-18; Hos 2:2-3; Hos 4:12). Akan tetapi, Allah datang di dalam diri Yesus dan menjemput mempelai wanita-Nya yang telah menjadi pelacur, membiarkan diri disiksa dan dibunuh oleh bangsa-Nya sendiri (baca: istri-Nya sendiri), dan dengan darah-Nya malah menyucikan dan menyelamatkan istri-Nya tersebut dari persundalan. Suami diminta untuk mengasihi seperti ini.

    Apakah ini sebuah kasih yang gampang? Sama sekali tidak! Kasih ini membutuhkan pengorbanan yang sempurna. Di dalam bentuk ekstrimnya, kasih ini menuntut seorang suami untuk memaafkan dan bahkan memberikan nyawanya untuk istrinya yang telah berselingkuh berkali-kali, menolak dia, dan bahkan membunuh dia, sama seperti yang Kristus lakukan. Kasih ini adalah kasih yang tidak menguasai, tetapi malah kasih yang melayani dan mengorbankan diri. Bagaimana mungkin kasih yang seperti ini dapat disebut sebagai “memandang pria terlalu tinggi”? Meskipun istri dipanggil untuk submit kepada suami, suami dipanggil untuk mengasihi dan submit his life untuk istri. Jadi, seperti istri dipanggil untuk tunduk dan melayani suami, suami dipanggil untuk mengasihi di dalam pelayanan dan pengorbanan kepada istri.

  2. Perintah ini sama sekali tidak mengundang kesenjangan antar gender. Sebaliknya, makna teologis di balik perintah ini menuntut kesatuan yang sempurna. Efesus 5:23 memakai doktrin Kristus sebagai Kepala Gereja sebagai pondasi untuk memerintahkan agar istri tunduk kepada suami, karena suami adalah kepala di dalam pernikahan. Doktrin ini mengundang kita untuk melihat kembali penciptaan di Kej 2:24. Pengertian bahwa suami adalah kepala tidak mengarah kepada argumen bahwa suami dapat memerintah sebagai diktator, akan tetapi kepemimpinan suami harus dilakukan dengan mendahulukan kepentingan bersama sebagai satu tubuh yang harmonis. Hal ini sama sekali tidak mengundang kesenjangan antar gender. Kasih antar suami-istri yang mencerminkan kasih antar Kristus-Gereja adalah kasih yang menghilangkan segala kesenjangan, seperti sebuah kepala dan sebuah tubuh adalah satu unit yang tidak dapat dipisahkan.

Dengan pengertian teologis yang seperti ini, Alkitab sama sekali tidak memandang salah satu gender lebih rendah atau lebih tinggi dari lain. Alkitab malah menuntut kesatuan yang sempurna di dalam kasih, pengorbanan, dan pelayanan.