SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Dunia Tak Berjendela

Sore itu diiringi suara turunnya hujan diatas genteng tengah berlangsung sebuah dialog yang seru di sebuah kelas filsafat kontemporer. Tampak di tengah ruangan kelas Profesor Qoheleth dikelilingi murid-muridnya yang antusias belajar. Berikut potongan dialog tersebut.

Profesor: Yang kalian harus sadari betul adalah bahwa hidup dibawah matahari ini singkat, sia-sia, konyol. Jadi apa gunanya kalian sibuk studi?

Mahasiswa 1: Tapi Prof, bukankah kita bayar mahal untuk kuliah agar nanti dapat memberi kontribusi signifikan bagi dunia, membuat perbedaan positif dalam hidup orang lain?

Profesor: Anak muda, sehebat apapun prestasimu, engkau akan dilupakan orang setelah 3 generasi. Coba apakah ada dari kalian yang tahu apa prestasi yang dicapai oleh orang tua dari kakek nenek kalian? Kalian mungkin bahkan tidak tahu nama mereka! Memang ada kemungkinan 2% dari kalian akan jadi seperti Steve Jobs atau Nelson Mandela, tapi 500 tahun setelah Jobs dan Mandela meninggal, nama mereka pun cuma tertuang dalam paragraf kecil di buku sejarah yang dibaca oleh 0.2% dari penduduk dunia. Mimpi namanya kalau kalian pikir hidup kalian bermakna!

Mahasiswa 2: Kalau begitu buat apa kita capek-capek kuliah?

Profesor: Supaya kamu berhikmat! Minimal, orang berhikmat bisa mengerti bahwa hidup tidak bermakna. Orang bebal tidak peduli akan semua itu. Kalian kuliah 3-4 tahun, semakin tahu banyak, semakin melihat realita hidup yang jahat dan kejam. Kalian semakin mengerti tentang rumitnya korupsi, misalnya. Korupsi bukan saja mendarah daging dalam jiwa manusia, tapi juga ke seluruh sistem dan budaya baik di negara maju maupun terbelakang. Apakah hikmat yang kalian pelajari dapat menghapus korupsi? Semakin belajar, semakin frustrasi! Buat apa belajar?!

Mahasiswa 3: Prof terlalu skeptis, kalau kita punya gelar dan hikmat, minimal lebih mudah cari uang dan jadi kaya. Dunia tidak adil EGP Prof! Yang penting saya bisa menikmati segala kenikmatan dunia dengan harta yang saya miliki.

Profesor: Ok, kamu kaya dan bisa menikmati apa yang diinginkan matamu, memang itu baik! Saya sudah melewati semua itu. Semuanya percuma. Pertama, kamu tidak akan pernah puas. Selalu ingin yang lebih bagus, lebih cepat, lebih mewah, lebih hebat, dan toh pasti bosan akhirnya. Kedua, kamu sulit untuk dapat benar-benar menikmati karena semakin kaya, kamu akan semakin mudah kuatir, iri, takut, kecewa, konflik, naik darah, stress, dipresi, dst.

Ketiga, kamu membangun kekayaan belasan bahkan puluhan tahun, tapi bisa hilang dalam sehari. Tsunami, bom teroris, GFC dapat melumat habis semua itu dalam sekejap. Dan terakhir, buat apa susah-susah jadi super kaya kalau akhirnya toh mati. Baik orang kaya dan orang miskin berakhir di sebidang kecil tanah. Kematian akan mentertawakan usahamu menumpuk kekayaan.

Mendengar itu, para mahasiswa di kelas itu semakin gelisah, mereka berbisik satu dengan yang lain ingin tahu apakah profesor mereka sudah mulai gila. Seorang mahasiswa yang duduk di barisan belakang akhirnya memberanikan diri mengutarakan uneg-uneg tersebut.

Mahasiwa 4: Prof, kalau hidup ini konyol, mengapa Prof masih ada disini? Prof tidak sedang menggiring kita semua selama 1 jam terakhir untuk bunuh diri kan setelah kelas ini berakhir?

Profesor: Ah, tentu tidak! Dengarkan baik-baik, kalau kalian melihat hidup hanya sebagai hidup dibawah matahari, melihat hidup dari dalam hidup itu sendiri, kalian akan terperangkap di dalam sebuah dunia yang tak berjendela! Itulah hidup dibawah kutukan dosa yang telah menggantikan kecintaan kita terhadap Pencipta dengan ciptaan.

Solusinya ada di atas matahari! Allah dalam Yesus Kristus datang ke dalam dunia dan memberikan diriNya ditaklukkan kepada kesia-siaan agar kita semua yang percaya tidak lagi hidup dalam kesia-siaan. Sejauh kalian mengerti ini, sejauh itu pula kalian akan menemukan makna hidup yg sejati dalam Dia.

Kuliah menjadi bermakna karena saat kalian mengerti ada design dan keteraturan dalam alam semesta, kalian akan digiring untuk memikirkan Grand Designer.

Bekerja menjadi bermakna karena saat kalian bekerja, kalian sedang mengekpresikan seluruh talenta sebagai gambar dan rupa dari Allah yang juga sedang bekerja sampai hari ini.

Hidup menjadi bermakna karena kematian hanyalah pintu menuju hidup dalam kekekalan bersama dengan Dia yang telah menelan kematian dalam kematianNya di atas kayu salib.

Mendengar paparan tersebut, terdengar decak kagum dari berbagai penjuru ruangan kuliah tersebut.