SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Asertif demi Injil

Dari banyak alasan mengapa Tuhan memakai rasul Paulus lebih intensif dibanding rasul lain (e.g., dia melakukan pelayanan babat alas memberitakan Injil kepada bangsa non-Yahudi, dia menulis lebih banyak surat di Perjanjian Baru dibanding semua rasul lain), saya kira salah satunya adalah karena dia seorang rasul yang asertif. Dia asertif bukan karena temperamen atau kepribadiannya (meski dia seorang kolerik), tetapi karena ia tahu bahwa kalau ia tidak asertif, yang akan dikorbankan adalah Injil Kristus Yesus. Kitab Galatia memberitahu kita beberapa sikap ini:

1. Mengenal hal yang prinsip, dan mampu dan mau membelanya tanpa menjadi agresif.
Salah memahami Injil fatal akibatnya, kematian dan kebangkitan Kristus seakan menjadi tidak cukup, umat Allah masuk kembali kepada perhambaan dosa, dan gereja mula-mula berpotensi pecah antara Yahudi dan non-Yahudi. Itu sebab Paulus asertif tegas, tapi tidak agresif marah. Itu sebab mengapa ia mengulang hal yang sama dua kali di Gal 1:8-9: “Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia. Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia.”

2. Memahami bahwa motif lebih besar dan lebih penting dari metode.
Paulus seakan berkontradisi dengan dirinya sendiri saat kita membandingkan Gal 1:10 dan 1 Kor 9:19 berikut. Tapi dia sedang bicara soal motif dan metode. Motifnya sama, yaitu agar Injil Kristus diberitakan tanpa dikompromikan. Namun metodenya bisa berbeda sesuai budaya dan konteks rohani orang yang ia layani. Kita perlu bijaksana surgawi untuk bisa fleksibel tanpa kompromi

Jadi bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus (Gal 1:10).
Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang (1 Kor 9:19).

Dalam semua hal tsb, ia memiliki hati seorang ayah rohani yang sangat mengasihi anak-anak rohaninya, “Hai anak-anakku, karena kamu aku menderita sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu” (Gal 4:19).

3. Rela dan mampu menghadapi konflik interpersonal dengan strategis.
Saat dia pergi ke Yerusalem menemui 3 sokoguru gereja mula-mula untuk menegaskan bahwa soal keselamatan adalah soal percaya (dan hanya percaya) kepada Kristus, bukan mentaati hukum Musa (Gal 2:1), ia membawa Titus yang adalah orang Yunani Kristen yang tidak disunat sebagai studi kasus. Ia datang face-to-face dengan resiko disalahmengerti, namun ia tetap melakukannya.

Demikian pula ia dengan asertif berani menentang Petrus di depan publik karena sikapnya yang menihilkan Injil Kristus “Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah” (Gal 2:11). Pertama, ia tidak emosi (lihat Gal 6:1). Kedua, ia melakukan di depan publik karena Petrus adalah pemimpin yang kesalahannya memiliki dampak secara publik (cf. 1 Tim 5:17-20).