SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Apakah ada Deal-Breaker dalam Kasih Allah?

accountingKalkulasi itu penting, dan mempermudah penyelesaian masalah sehari-hari. Saya tidak mungkin bisa hidup sehari-hari di dunia modern, tanpa orang-orang melakukan kalkulasi mereka, dalam administrasi, penjadwalan, dst. Tapi, kita tahu dari pengalaman kita: kalkulasi dalam relasi kita terhadap satu sama lain malah membuat masalah semakin sulit. Kita punya prinsip intuitif dalam relasi kita terhadap satu sama lain: prinsip score-keeping, "Kamu sudah lakukan itu, saya akan balas demikian." Entah baik atau buruk. Dan, kita tahu dari pengalaman kita: score-keeping adalah kompetisi. Dan kompetisi dalam suatu relasi kasih hanya punya dua tujuan: satu pihak menang, dan pihak lain kalah. Oh, tentunya ada skor seri - tapi, siapa dari kita yang mau nilai seri? Kita mau menang.

Bagaimana ini bisa membuat masalah semakin runyam? Bagi mereka yang sudah menikah, tidak ada yang lebih membuat runyam ketika satu pihak mulai membuat mental calculation untuk "skor" pribadi mereka. Saya tidak perlu menjelaskan lebih lagi. Anda tahu apa yang saya maksud.

Tapi, kita pasti akan berespon: Tanpa prinsip ini, bagaimana saya bisa 'survive'? Kalau saya ngga mengkalkulasi apa yang saya kasih dari diri saya, bagaimana saya mungkin bisa hidup untuk saya sendiri? Emosi saya akan hancur! Saya yakin bahwa ini pertanyaan yang jujur - dan riil. Untuk mereka yang hidup cukup lama, kita tahu dari pengalaman juga: ada orang-orang yang membuat kita kecewa. Kasih yang kita beri dibalas dengan respon yang dingin. Malah, disalah mengerti; bahkan, diserang balik! Jelas kita butuh kalkulasi dalam relasi kita, di dalam dunia yang kita tahu pasti akan mengecewakan kita. Ya, kan?

Satu masalah: kita memproyeksikan kalkulasi ini terhadap relasi Allah terhadap kita. Setiap dari kita punya insting seperti ini terhadap sesama kita: "Apa yang dia bisa lakukan dalam relasi ini yang akan menjadi deal-breaker dalam relasi kita? Kalau dia melakukan itu, relasi kita putus." Dan kita, sadar atau tidak sadar, memproyeksikan ini kepada Allah: "Apa yang aku bisa lakukan, kalau aku berpikir / berimajinasi / berlaku itu, Allah akan berkata: that's it. We're done."

Oh, tentunya kita tidak akan bertanya seperti ini sehari-hari! Tapi, teman, pernahkah anda berpikir, "Aku ngga mungkin lakukan hal itu. I'm too good for that." Dan, tiba-tiba, anda melakukan / berpikir / berimajinasi untuk melakukan hal itu. Teman, that's the real you. Itu adalah dirimu yang tidak direhabilitasi oleh agama. Itulah dirimu yang tidak direkonstruksi lewat peer-pressure. Itulah dirimu yang sesungguhnya - uncensored. Ketika versi orisinil dari diri kita mulai terkuak di hadapan Allah, kita mulai bertanya: "Allah, apakah ini deal-breaker dalam relasi kita? Aku melakukan apa yang kupikir ngga mungkin aku lakukan... You must have hated me." Apakah Allah sedemikian? Apakah Allah bisa & mau mengemban diri kita yang sesungguhnya? Apakah ada deal-breaker dalam kasih Allah? Itulah yang dijawab oleh Paulus, di Roma 8:31-39.

"Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka?

Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita?

Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: "Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan." Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.

Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita."

Teman, coba lakukan latihan ini: ganti semua kata kita menjadi namamu sendiri. Selagi anda berpikir untuk melakukan itu, saya ingin memberi ringkasan dari ayat ini bagi anda: Allah mengasihi anda, secara personal dan dengan sepenuh kekuatan yang dari dalam Diri-Nya. Banyak orang Kristen tahu perintah ini bagi diri mereka sendiri: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu." (Markus 12:30) Tapi, teman, Allahmu adalah Pihak yang terlebih dahulu melakukan perintah ini terhadap kamu. Karena ayat setelahnya, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Markus 12:31) Dan Allah menjadi manusia, di dalam Yesus, supaya Dia bisa melakukan ini terhadap sesama-Nya, manusia.

Di Roma 8:31-39, Paulus melepaskan isi hati Allah, seakan Dia berkata kepada masing-masing dari anda: Aku mengasihi kamu, the real you, dengan sepenuh hati-Ku, segenap jiwa-Ku, seluruh akal budi-Ku, semua kekuatan-Ku, sama seperti Aku mengasihi Anak-Ku. Dan tidak ada 'deal-breaker' dalam kasih-Ku terhadap kamu. Kenapa? Karena Aku telah memutuskan relasi-Ku terhadap Anak-Ku di dalam Salib untuk sementara, supaya Aku tidak mungkin memutuskan kasih-Ku terhadap kamu untuk selama-lamanya.

Allah tidak mengkalkulasikan kasih-Nya terhadap kamu. Teman, renungkan ini sampai kamu meloncat kegirangan, dan pikirkan ini sampai kamu bernyanyi. "Amazing love! How can it be, that You, my God, should die for me?" (Charles Wesley)

Setelah itu, tanyakan ini: Apakah ada 'deal-breaker' dalam relasimu terhadap satu sama lain? Apa ada 'deal-breaker' yang tersembunyi dalam hatimu, "Kalau dia berbuat itu, we're done"?